Selamat Tinggal Kebebasan Pers

Business

Selamat Tinggal Kebebasan Pers

Anak Rohil
Sabtu, 19 Juli 2025

 

ilustrasi


Di Indonesia, kebebasan pers adalah konsep yang sering diagungkan, tetapi semakin hari semakin terasa semu. Di permukaan, kita masih melihat berita-berita kritis, opini tajam, dan investigasi mendalam. Namun, di balik layar, ancaman dan tekanan terus menghantui mereka yang berani berbicara lantang.

Pembungkaman ini bukan lagi sekadar ancaman verbal, melainkan telah menjelma menjadi praktik sistematis yang menyusup ke berbagai lini, mulai dari teror fisik hingga tekanan hukum yang membatasi ruang gerak jurnalis dan media. Jika kita masih percaya bahwa kebebasan pers di negeri ini baik-baik saja, mungkin sudah waktunya membuka mata lebih lebar.

Teror, Intimidasi, dan Ketakutan yang Dibangun

Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat bagaimana tekanan terhadap media semakin nyata. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah teror kepala babi dan bangkai hewan yang dikirim ke kantor media Tempo. Ini bukan sekadar ancaman simbolik, tetapi pesan jelas bahwa ada pihak yang tidak ingin media berbicara terlalu jauh. Jika kita telisik lebih dalam, praktik ini tidak berdiri sendiri. Jurnalis yang meliput kasus-kasus sensitif, terutama yang menyangkut isu politik dan militer, sering kali menghadapi intimidasi langsung.

Bukan hanya jurnalis laki-laki yang menghadapi ancaman ini. Jurnalis perempuan pun tidak luput dari serangan, bahkan sering kali mendapatkan tekanan dengan cara yang lebih mengerikan. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender online seperti doxing, pelecehan, hingga ancaman kekerasan fisik semakin sering terjadi. Kekerasan terhadap jurnalis perempuan bahkan sudah mengarah ke pembunuhan. Ini bukan hanya tentang menekan kebebasan pers, tetapi juga cara sistematis untuk membungkam suara perempuan di dunia jurnalistik. Keberanian untuk berbicara kini dibayar dengan harga yang semakin mahal.

Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya ada pada sistem yang membiarkan—bahkan dalam beberapa kasus, mendukung—pembungkaman terhadap media. Tanpa perlindungan hukum yang kuat, kebebasan pers hanya menjadi slogan tanpa makna. Para jurnalis yang melawan akan selalu berada dalam posisi rentan, sementara pelaku intimidasi sering kali melenggang bebas tanpa konsekuensi.

Revisi UU TNI dan Masa Depan Kebebasan Pers

Situasi ini semakin diperparah dengan polemik pengesahan Revisi UU TNI yang berpotensi mempersempit ruang kritik terhadap institusi militer. Dalam draf revisi yang diajukan, terdapat sejumlah pasal yang bisa digunakan untuk menekan media dan mengkriminalisasi kritik terhadap TNI. Jika sebelumnya tekanan terhadap pers dilakukan secara terselubung, kini hal itu bisa mendapatkan legitimasi hukum.

Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki kewenangan lebih besar dalam ranah sipil, maka ruang demokrasi akan menyempit. Di masa Orde Baru, kita telah melihat bagaimana kritik terhadap institusi negara—terutama militer—berujung pada pembungkaman, pemenjaraan, bahkan penghilangan paksa. Revisi UU TNI ini membuka peluang terulangnya pola serupa, di mana kritik terhadap aparat bisa dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional.

Noam Chomsky pernah mengatakan, “Jika kita tidak percaya pada kebebasan berbicara untuk orang yang kita benci, maka kita tidak percaya pada kebebasan berbicara sama sekali.” Pernyataan ini relevan dalam konteks kebebasan pers di Indonesia saat ini. Jika kritik terhadap kekuasaan dianggap sebagai ancaman, lalu di mana letak demokrasi yang selama ini kita banggakan? Jika media terus dicekam oleh ketakutan, lalu siapa yang akan mengawasi kekuasaan?

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana situasi ini membentuk pola pikir masyarakat. Ketika ancaman terhadap jurnalis semakin meningkat, ada kecenderungan bahwa publik akan mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang “biasa” atau “wajar” dalam dunia jurnalistik. Normalisasi ketakutan ini adalah ancaman besar bagi demokrasi kita, sebab ketika masyarakat kehilangan kepekaan terhadap pembungkaman, kebebasan akan mati perlahan tanpa perlawanan.

Memperjuangkan Kembali Kebebasan Pers

Melawan pembungkaman ini bukan hanya tugas para jurnalis, tetapi juga kita semua sebagai masyarakat. Ketika pers dibungkam, informasi yang kita terima akan semakin terbatas, dan pada akhirnya kita akan hidup dalam ilusi kebenaran yang dikendalikan segelintir orang. Kebebasan pers bukan hanya tentang hak media untuk berbicara, tetapi juga tentang hak kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini.

Kita perlu terus mengawal kebijakan-kebijakan yang berpotensi menekan kebebasan pers, termasuk revisi UU TNI yang kontroversial ini. Tekanan dari masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi independen harus terus digaungkan agar pers tidak kehilangan suara mereka. Selain itu, solidaritas terhadap jurnalis yang mengalami intimidasi harus semakin kuat. Ketika ada satu jurnalis yang diserang, itu bukan hanya persoalan individu, tetapi ancaman terhadap seluruh masyarakat yang ingin mendapatkan informasi yang jujur.

Mungkin kita belum tiba di titik di mana semua jurnalis takut menulis dan semua media tunduk pada kepentingan tertentu. Tapi jika pola ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kebebasan pers di Indonesia hanya akan menjadi kenangan. Jika kita masih peduli pada demokrasi, kita tidak bisa hanya diam. Sebab, ketika kebebasan berbicara mati, yang tersisa hanyalah propaganda.

Ditulis oleh : Uray Andre Baharudin

Sumber tulisan : omong-omong.com


Health

 


Economy

| News Populer

Popular Posts